Dan pada setiap umat Kami sudah mengutus seorang rasul, (dengan perintah) “Sembahlan Allah dan jauhilah setan”: di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah, dan sebagian ada yang ditimpa kesesatan yang sudah semestinya terjadi. Maka mengembaralah di muka bumi dan lihatlah bagaimana kesudahan mereka yang mendustakan (kebenaran)?
Ayat di atas, dan ayat-ayat lain yang senada dengan isu yang sama (QS. Ar Ra’d/13:7; Faathir/35:24), menegaskan bahwa pada setiap umat, atau golongan ada seorang nabi, yaitu penunjuk jalan menuju kebenaran, dan tidak ada satu umat pun kecuali telah pernah dating kepadanya seorang pemberi peringatan.
Kata “nabi” (nabiy) artinya “yang diberi kabar”. Ayat ini hendak menegaskan bahwa seorang Nabi adalah pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan. Di dalam QS. Faathir/35:24 lebih tegas dikatakan:
Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran seba gai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.
Abdullah Yusuf Ali menegaskan penafsiran ayat ini, bahwa “Hanya Allahlah yang mengirim wahyu. Sementara ada peringatan dari mereka yang lalai, ada pula berita gembira (dalam istilah Kristen, injil) bagi mereka yang mau mendengar dan bertaubat. Peringatan itu selalu disampaikan kepada semua umat…”
Sebagaimana kita ketahui, salah satu pokok keimanan dalam Islam ialah percaya kepada sekalian para nabi dan rasul. Al-Qur’an menyebut bahwa Allah telah mengutus rasul (Arab: rasul, utusan, dalam hal ini rasul-u ‘l-Lah) untuk setiap golongan manusia. Nabi Muhammad sendiri pernah menjelaskan bahwa jumlah keseluruhan nabi di muka bumi sepanjang masa ada 124.000 (seratus duapuluh empat ribu) orang, dan dari kalangan mereka itu 315 (tiga ratus lima belas) orang bertindak sebagai utusan atau rasul Allah. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad menjelaskan tentang hal ini.
Di dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa para rasul itu adalah manusia biasa yang mendapat wahyu atau pengajaran langsung dari Tuhan tentang jalan hidup yang benar (QS. Yusuf/12:109; An Nahl/16:43).
Sebagai manusia biasa, para rasul melakukan hal-hal yang secara wajar dilakukan oleh umumnya manusia yang disebut sebagai al-a’radl al-basyariyah – sifat-sifat wajar kemanusiaan – seperti berumah tangga dan memunyai keturunan (QS. Ar Ra’d/13:38), “menyantap makanan serta berjalan di pasar-pasar” untuk berdagang (QS. Al-Furqan/25:20). Juga disebutkan bahwa di antara para rasul itu ada yang dituturkan kepada Nabi Muhammad saw. sendiri (melalui kisah-kisah dalam al-Qur’an) dan ada pula yang tidak dituturkan (QS. An Nisaa’/4:164; Al Mu’min/40:78).
Meski para rasul itu diutus dengan bahasa masing-masing (QS. Ibrahim/14:4), namun semuanya dengan tujuan yang sama, yakni mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran, dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban menghambakan diri (beribadah, berbakti) hanya kepada-Nya (QS. Al Ambiya’/21:25).
Selain ajaran pokok Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) itu, para rasul juga menyerukan perlawanan kepada thaghut, yakni kekuatan jahat dan zalim (QS. An Nahl/16:36). Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (islam) kepada Tuhan (QS. Al Baqarah/2:136 dan 285; Ali Imran/3:84).